Kita Memang Sahabat, Tapi Salahkah Bila Aku Memiliki Rasa Kepadamu?
Hal yang paling aku takutkan saat itu adalah ketika aku tak
lagi sanggup untuk menolong diriku sendiri, menyadarkan diriku sendiri dan
membohongi diriku sendiri bahwa aku menerima kehadiranmu dalam kehidupanku
menjadi seorang sahabat. Namun mimpi buruk yang selalu kucoba untuk menekannya
sekian lama pada akhirnya terjadi juga, dimana salah satu diantara kita berdua
telah memendam rasa yang lebih dari sayang seorang sahabat.
Tahukah kamu betapa terkejut dan ketakutannya diriku ketika mimpi buruk itu hadir? kurasa kamu menyadarinya tapi mengenal bagaimana keadaan saat itu dan pada akhirnya kamu memilih mengabaikan itu semua. Aku tahu mereka selalu mengatakan bahwa tak akan pernah ada persahabatan yang sungguh-sungguh antara perempuan dan laki-laki. Hal tersebut tak juga membuatku putus asa untuk bisa membuktikan pada mereka bahwa kita bisa benar-benar bertahan menjadi dua orang berlawan jenis yang bisa bersahabat hingga akhirnya mimpi buruk itu hadir dan merubah segalanya.
Sadarkah jika senyumanmu selalu bisa menenangkan hari-hariku?
Tahukah kamu betapa terkejut dan ketakutannya diriku ketika mimpi buruk itu hadir? kurasa kamu menyadarinya tapi mengenal bagaimana keadaan saat itu dan pada akhirnya kamu memilih mengabaikan itu semua. Aku tahu mereka selalu mengatakan bahwa tak akan pernah ada persahabatan yang sungguh-sungguh antara perempuan dan laki-laki. Hal tersebut tak juga membuatku putus asa untuk bisa membuktikan pada mereka bahwa kita bisa benar-benar bertahan menjadi dua orang berlawan jenis yang bisa bersahabat hingga akhirnya mimpi buruk itu hadir dan merubah segalanya.
Sadarkah jika senyumanmu selalu bisa menenangkan hari-hariku?
Pada akhirnya aku mencoba untuk menerima mimpi buruk tersebut dan mencoba untuk merubahnya menjadi mimpi yang indah. Dimana aku mulai memikirkan bahwa rasa yang terjadi diantara persahabatan kita adalah bagian dari bonus akan ketulusan yang kita miliki antara yang satu dengan yang lain.
Meski masih terselib berbagai kekhawatiran yang tak pernah bisa kuabaikan dan ketakutanku untuk menjadikan kamu sebagai pelarianku semata. Namun hal tersebut tak juga mematahkan semangatmu untuk selalu menemaniku dan menjadikan dirimu sebagai obat untuk kepulihanku dari patah hati akan cinta pertamaku. Saat itu terkadang aku maish tak juga percaya bahwa yang menjadi obat dan merawat sakit hatiku adalah kamu.
Orang terdekat namun cuek setengah mati pada sekitar dan tak benar-benar peka dengan apa yang terjadi diantara teman-temanmu. Aku selalu memaklumi bagaimana sifatmu meski kita sering menghabiskan waktu bersama dan ketika jalinan kasih diantara kita terjadi mendadak kamu berubah menjadi seseorang yang perhatian. Jika boleh jujur ku merasa lucu dengan perubahan tersebut. Sahabat yang biasa ku ajak maen bersama, merusuh bersama mengatakan bahwa menyayangiku sebagai laki-laki kepada perempuan pada umumnya membuatku ingin tertawa namun juga sedih.
Sadarkah jika kepergianmu telah membawa sebagian dari hatiku?
Aku tertawa bukan untuk menyinggungmu, namun hal tersebut benar-benar terasa lucu dan aneh. Aku sedih karena persahabatan sekian tahun harus memiliki cerita seperti ini. Aku selalu ketakutan jika diantara kita ada yang memiliki cinta maka pada akhirnya salah satu akan menjauh. Persahabatan ini terlalu sayang untuk dinodai dengan kehadiran cinta kurasa, namun aku sadar bahwa ketika beranjak dewasa maka akan banyak hal berubah dan terjadi.
Aku tak pernah selalu menuntutmu untuk berada disampingku.
Saat dimana keraguan itu semakin hadir dari hari ke hari bahwa jalinan persahabatan yang telah kita rubah menjadi jalinan kasih ini menjadi sangat terasa asing dan salah. Dimana yang satu mencoba untuk melepas dan yang satu teteap mempertahankan serta segalanya menjadi terlihat semakin rumit dan tak lagi ada yang bisa diselamatkan.
Segala kekhawatiran dan ketakutanku pun terjadi dengan begitu cepatnya tanpa bisa atau sempat menyelamatkan hati kita masing-masing. Semua rencana yang telah kita buat hilang seketika karena ucapan perpisahan yang aku katakan. Dimana aku tak lagi ingin membohongi semua orang dengan status kita, dimana aku tak sanggup lagi berpura-pura bisa menjalani dengan begitu nyaman hubungan ini, dimana aku semakin melukaimu karena tak juga bisa membuka hati untuk benar-benar menerimamu menjadi seorang kekasih.
Ketika aku tak lagi sanggup menyadarkan diri bahwa kamu berada jauh dari pandangan mataku.
Dan hari itu juga aku bukan hanya kehilangan kekasih namun aku juga kehilangan seorang yang telah lama hadir hampir di separuh perjalananku untuk menjadi sosok yang dewasa. Aku kehilanganmu sahabat, kakak, teman, dan rivalku. Hingga aku menjadi sangat takut untuk sadar bahwa kamu benar-benar pergi dari hidupku.
Aku memang tak boleh egois untuk tetap menyuruhmu bertahan disisiku setelah kata perpisahan itu. Namun sependek itukah cara berfikirmu untuk tak menyelamatkan persahabatan yang telah sekian lama kita jalin? Tidak bisakah kita mencoba membicarakannya ketika emosi dari diri kita masing-masing telah mereda? Dulu kita pernah sedekat nadi hingga akhirnya kita menjadi bumi dan matahari.